Beranda | Artikel
Mengenal Aqidah dari Dasar
Rabu, 4 Desember 2019

Bismillah.

Ilmu aqidah adalah ilmu yang sangat penting dalam kehidupan seorang muslim. Karena memahami aqidah dengan benar akan memperbaiki penghambaan dirinya kepada Allah. Betapa banyak orang yang mengira bahwa dirinya sedang mendekatkan diri kepada Rabb penguasa alam, tetapi pada hakikatnya dia sedang menempuh jalan yang dimurkai dan dibenci oleh-Nya.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Ayat ini merupakan dalil yang sangat tegas dan gamblang yang menunjukkan kepada kita akan tujuan dan hikmah penciptaan kita. Kita hidup dalam rangka beribadah kepada Allah, bukan karena Allah butuh kepada kita tetapi karena dengan ibadah itulah manusia akan dimuliakan dan meraih kebahagiaan.

Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (al-’Ashr : 1-3). Kehidupan manusia di atas muka bumi ini adalah cobaan dan ujian; untuk membuktikan siapakah yang beriman kepada Allah dan mau tunduk kepada ajaran-Nya dan untuk memperlihatkan siapakah yang lebih condong kepada kebatilan dan kemungkaran. Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2)

Allah mengutus para rasul dalam rangka menjelaskan kepada manusia bagaimanakah cara yang benar dalam beribadah dan mewujudkan tujuan penciptaan mereka. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36). Setiap rasul mengajak umatnya untuk mentauhidkan Allah dan memperingatkan mereka dari bahaya syirik; karena syirik adalah dosa besar yang paling besar dan penghancur semua amal kebaikan hamba.

Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu; Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)

Apakah Makna Iman?

Malaikat Jibril bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang iman, maka beliau menjawab, “Iman adalah kamu beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir; yang baik dan yang buruk.” (HR. Muslim). Inilah pokok-pokok keimanan yang biasa disebut dengan rukun iman. Pokok keimanan itu mencakup amalan-amalan hati, oleh sebab itu orang munafik walaupun secara lahiriah bersyahadat tetapi karena tidak disertai keyakinan dan amalan hati maka mereka bukan termasuk golongan kaum beriman. Bahkan Allah mengancam mereka dengan azab di kerak neraka yang paling bawah!

Akan tetapi amalan hati semata tanpa pengakuan lisan dan amalan lahiriah belum bisa memasukkan pemiliknya dalam jajaran ahlul iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih cabang. Yang tertinggi adalah ucapan laa ilaha illallah, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh sebab itu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau berpesan, “Hendaklah yang kamu serukan pertama kali kepada mereka adalah syahadat laa ilaha illallah…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Para ulama Ahlus Sunnah dari masa ke masa menegaskan bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan, ucapan hati dan ucapan lisan, perbuatan hati dan perbuatan anggota badan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Maka iman itu mencakup pengakuan lisan dengan bersyahadat, keyakinan hati dengan penuh keikhlasan dan kejujuran, dan amal perbuatan dengan anggota badan. Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau menghiasi penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan-amalan.”

Tanpa keikhlasan dan tauhid maka seorang tidak disebut sebagai kaum beriman dan amalnya sia-sia. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi semua amalan yang dahulu mereka kerjakan lantas Kami jadikan ia bagai debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23). Allah berfirman (yang artinya), “Dan seandainya mereka itu berbuat syirik pasti akan lenyap semua amalan yang telah mereka kerjakan.” (al-An’am : 88). Allah juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu penolong.” (al-Ma’idah : 72)

Ucapan laa ilaha illallah tidak ada artinya jika tidak dilandasi keikhlasan dan kejujuran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas neraka orang yang mengucapkan laa ilaha illallah seraya mengharap wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh sebab itu tidak ada gunanya amal salih jika disertai dengan syirik dan kekafiran. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110). Perintah untuk beramal salih menunjukkan bahwa amal adalah bagian dari iman; tidak ada iman tanpa amalan. Dan larangan berbuat syirik menunjukkan bahwa amalan menjadi sia-sia apabila dibarengi dengan syirik atau kekafiran.

Amal salih dan ibadah kepada Allah adalah sebab kebahagiaan. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang melakukan amal salih dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman, niscaya Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan memberikan balasan untuk mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa-apa yang telah mereka amalkan.” (an-Nahl : 97). Beramal salih artinya orang itu beribadah kepada Allah dengan hati, lisan, dan anggota badannya. Dan dalam keadaan beriman maksudnya dia tidak mencampuri imannya dengan pembatal keimanan semacam syirik, kekafiran, atau kemunafikan.

Wajibnya Meniti Jalan Islam

Dengan demikian orang yang beriman dan beramal salih itu adalah mereka yang mengikuti jalan Islam dan meninggalkan semua agama kekafiran dan kemusyrikan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya mereka beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama/amalan untuk-Nya dengan hanif/bertauhid, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah : 5). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang pun dari umat ini; apakah dia Yahudi atau Nasrani kemudian meninggal dalam keadaan tidak beriman dengan ajaran yang aku bawa melainkan dia pasti termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim)

Karena amal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tidak diterima oleh Allah begitu pula agama selain Islam tidak diridhai oleh Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran : 85). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka itu pasti tertolak.” (HR. Muslim). Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kami kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia amal usahanya dalam kehidupan dunia sementara mereka mengira dirinya telah berbuat dengan sebaik-baiknya.” (al-Kahfi : 103-104)

Islam juga tidak cukup dengan mengucapkan kalimat syahadat. Seandainya kalimat syahadat secara lisan sudah cukup niscaya orang munafik tidak akan kekal di dalam neraka. Oleh sebab itu syahadat itu harus dilandasi keyakinan hati akan kebenaran maknanya, kejujuran dan kecintaan kepada kandungan maknanya. Bahkan itu tidak cukup tanpa ketundukan kepada perintah dan larangan Allah serta patuh kepada hukum Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman (yang artinya), “Sekali-kali tidak, demi Rabbmu; mereka tidaklah beriman kecuali apabila mereka berhukum kepadamu dalam apa-apa yang mereka perselisihkan kemudian mereka tidak merasa keberatan di dalam hatinya atas keputusan yang kamu berikan, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (an-Nisa’ : 65)

Bahkan itu semua tidak cukup apabila tidak disertai dengan sikap penolakan terhadap segala bentuk syirik dan kekafiran. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah sungguh dia telah berpegang-teguh dengan buhul tali yang paling kuat dna tidak akan terurai.” (al-Baqarah : 256). Oleh sebab itu para ulama merangkum segala pengertian ini dalam definisi islam; bahwa islam itu sikap pasrah kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya.

Dengan demikian islam tidak akan tegak kecuali di atas 3 pilar :

– Tauhid kepada Allah, maka islam tidak bisa tegak dengan kemusyrikan

– Taat kepada Allah, maka islam tidak bisa tegak dengan pembangkangan kepada syari’at

– Loyalitas dan kebencian karena Allah, maka islam tidak bisa tegak dengan loyal kepada setan

Kalimat laa ilaha illallah mengandung sikap penolakan dan penetapan. Penolakan terhadap syirik dan ibadah kepada selain Allah. Penetapan terhadap tauhid dan ibadah kepada Allah semata. Sehingga dari situlah muncul loyalitas dan kecintaan kepada tauhid dan ahli tauhid serta kebencian dan permusuhan kepada syirik dan ahli syirik. Dengan demikian seorang muslim akan menujukan ibadahnya kepada Allah semata dan mengikuti petunjuk rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam; karena tidak mungkin dia bisa beribadah kepada Allah kecuali dengan ajarannya. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Jika kalian mengaku mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali ‘Imran : 31)    

Ibadah memiliki cakupan makna yang luas; segala hal yang dicintai dan diridhai oleh Allah adalah ibadah; apakah itu berupa ucapan atau perbuatan, apakah itu yang tampak atau yang tersembunyi di dalam hati. Ibadah dibangun di atas sikap perendahan diri dan ketundukan kepada Allah. Ibadah digerakkan dengan amalan-amalan hati berupa; cinta, takut, dan harapan. Seluruh bentuk ibadah adalah hak Allah; tidak ada yang berhak diibadahi selain-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabbmu telah menetapkan; bahwa janganlah kalian beribadah kecuali kepada-Nya.” (al-Israa’ : 23). Allah juga berfirman (yang artinya), “Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36)

Tauhid atau ibadah kepada Allah semata merupakan bentuk keadilan yang teragung. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka itu beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim). Barangsiapa yang menujukan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah sesungguhnya dia telah melakukan kezaliman yang sangat besar. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (Luqman : 13)

Dari sinilah kita bisa mengetahui letak pentingnya tauhid dalam masyarakat. Sebab tidak ada kebaikan bagi manusia kecuali dengan beribadah kepada Rabbnya. Tidak ada kebahagiaan kecuali dengan taat kepada-Nya. Dan tidak ada keselamatan kecuali dengan menjauhi syirik dan apa-apa yang membuat Allah murka. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123)

Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik) maka mereka itulah orang-orang yang diberikan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (al-An’am : 82). Oleh sebab itu para rasul senantiasa memprioritaskan dakwah tauhid kepada umatnya; karena tauhid inilah asas agama dan syarat diterimanya segala amal ketaatan. Sebagaimana dikatakan oleh para ulama, bahwa kebutuhan kita kepada tauhid jauh lebih besar daripada kebutuhan kita kepada air dan udara!


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-aqidah-dari-dasar/